Meski pasar saham global mencatat rebound pada 2023–2024, proyeksi pertumbuhan global moderat di kisaran 2,7 % pada 2025 menimbulkan tekanan terbatas bagi rally lanjutan. Inflasi global diperkirakan turun ke 4,5 % tahun ini, mendukung stabilitas tetapi menahan momentum bullish ekstrem. Di AS, pertumbuhan PDB diproyeksikan melambat menjadi 1,9 % pada Q2–Q3 2025 akibat tarif tinggi dan pelemahan konsumsi. The Fed tetap mempertahankan suku bunga tinggi untuk mengendalikan inflasi jangka panjang. Laba S&P 500 diperkirakan tumbuh 9 % sepanjang 2025, tetapi risiko revisi ke bawah tetap besar.
Kondisi Makroekonomi Global
Proyeksi dari Peterson Institute menunjukkan real global GDP hanya akan tumbuh 2,7 % pada 2025, turun dari 3,2 % pada 2024, di tengah eskalasi tarif dan ketidakpastian kebijakan perdagangan. Penurunan laju pertumbuhan ini mencerminkan efek kumulatif gangguan rantai pasok dan kenaikan biaya input akibat tarif baru di berbagai sektor industri.
Dari sisi inflasi, IMF memproyeksikan inflasi global turun menjadi 4,5 % pada 2025, menandakan disinflasi yang terus berlanjut meski masih di atas target jangka panjang beberapa bank sentral. Penurunan ini terutama didorong oleh meredanya tekanan permintaan di negara maju, sementara negara berkembang masih menghadapi tantangan nilai tukar dan harga pangan.
Di Amerika Serikat, University of Michigan memproyeksikan pertumbuhan PDB melambat ke 1,9 % pada kuartal kedua hingga ketiga 2025, tertekan oleh kebijakan tarif yang ketat dan tren konsumsi rumah tangga yang melemah. Dampak lanjutan dari perbaikan inventaris dan siklus kredit juga menjadi faktor pembatas percepatan pemulihan ekonomi lokal.
Kebijakan Moneter dan Inflasi
Bank Sentral AS (The Fed) menegaskan strategi “cruel‑to‑be‑kind” dengan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama demi menstabilkan ekspektasi inflasi jangka panjang, meski memicu risiko perlambatan ekonomi jangka pendek. Indikator pasar 10‑year Treasury breakeven menyiratkan harapan inflasi jangka menengah kembali mendekati target 2 %, menandakan kepercayaan pada komitmen Fed.
Survei Reuters menunjukkan peluang resesi AS dalam 12 bulan ke depan melonjak ke 45 % akibat kebijakan tarif agresif, dengan ekonom menurunkan proyeksi PDB 2025 dari 2,2 % menjadi 1,4 %. Kenaikan ekspektasi inflasi juga membatasi ruang manuver Fed untuk menurunkan suku bunga lebih cepat, di mana sebagian besar ekonom hanya memperkirakan dua kali penurunan sepanjang 2025.
Dalam Proyeksi Ekonomi FOMC Maret 2025, mayoritas peserta memperkirakan pertumbuhan PDB 2025 berada di kisaran 2,4–3,9 %, sementara proyeksi inflasi inti dipatok antara 2,4–3,9 %. Variasi rentang ini mencerminkan ketidakpastian tinggi terkait kebijakan fiskal dan eksternal, termasuk risiko eskalasi tarif.
Laporan Russell Investments menambahkan bahwa inflasi PCE inti di AS diperkirakan mendekati target 2 % seiring Fed mulai melonggarkan kebijakan secara hati‑hati, dengan proyeksi suku Fed Funds Rate di 3,25 % pada akhir tahun. Pendekatan “tapering” yang gradual ini diharapkan meredam volatilitas pasar obligasi sambil menjaga stabilitas harga.
Proyeksi Laba dan Valuasi Saham
Analis Fidelity memperkirakan pertumbuhan laba per saham (EPS) S&P 500 sebesar 9 % sepanjang 2025, meski potensi revisi menurun jika PDB dan margin korporasi melambat. Jika revisi EPS terjadi, tekanan pada valuasi resultant P/E ratio bisa meningkat, sehingga mengurangi daya tarik pasar secara keseluruhan.
Morgan Stanley melihat peluang “muted gains” di pasar ekuitas AS pada 2025, dengan fokus pada kombinasi pertumbuhan dan nilai, serta memilih saham-saham yang undervalued dalam sektor siklikal. Menurut mereka, risiko utama adalah ekspektasi yang sudah terlalu tinggi setelah dua tahun rally kuat.
J.P. Morgan Research lebih konstruktif pada aset berisiko AS, terutama ekuitas dan emas, tetapi tetap hati‑hati pada obligasi dan komoditas dasar. Keragaman pandangan ini menegaskan pentingnya alokasi portofolio yang terdiversifikasi, termasuk aset luar AS dan fixed income berkualitas.
BlackRock mencatat probabilitas mendapatkan pengembalian 20 %+ tiga tahun berturut-turut sangat rendah (hanya 3 % kasus sejak 1928), sehingga mereka memperkirakan kembalinya return ke kisaran rata‑rata historis ~11 % per tahun. Ini mengindikasikan fase konsolidasi dengan volatilitas moderat.
Risiko dan Faktor Pendorong
Investor legendaris Bill Smead menilai bahwa meski sentimen bearish sudah tinggi, pasar belum sepenuhnya “unwind” dari mania terbesar dalam kariernya dan berpotensi koreksi 50 % secara bertahap. Dia memilih sektor defensif seperti energi dan real estate terbelakang untuk melindungi modal.
Risiko eskalasi tarif masih menjadi batu sandungan utama, dengan survei Reuters mencatat efek negatif besar pada sentimen bisnis dan probabilitas stagnasi jangka panjang. Kerentanan rantai pasok dan ketergantungan pada impor membuat beberapa sektor rawan disrupsi harga.
Schwab Sector Views merekomendasikan overweight pada sektor teknologi dan layanan komunikasi untuk jangka 6–12 bulan, diikuti sektor kesehatan, sementara energi dan bahan dasar relatif underweight karena prospek volatilitas harga komoditas.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara keseluruhan, probabilitas “ledakan” pasar saham di Q3 2025 tampak rendah. Kondisi makro yang melambat, kebijakan moneter ketat, dan risiko eksternal menahan laju rally. Namun, terdapat peluang di sektor teknologi, saham bernilai (value), dan pasar negara berkembang yang menawarkan diversifikasi dan potensi return relatif menarik. Investor disarankan untuk:
-
Diversifikasi global – alokasikan portofolio lintas wilayah agar tidak terpapar risiko tunggal.
-
Fokus pada kualitas – pilih emiten dengan neraca sehat dan arus kas stabil.
-
Kelola durasi obligasi – pertimbangkan obligasi jangka menengah untuk meminimalkan volatilitas.
-
Pantau data ekonomi – adaptasi strategi investasi seiring rilis data PDB, inflasi, dan keputusan Fed
baca juga : trump rencanakan tarif impor china hingga 250