Suku Tengger: Kearifan Lokal Pelestari Alam Bromo

suku tengger menjalani ritual

Ringkasan

Suku Tengger yang mendiami kawasan Gunung Bromo dan Semeru di Jawa Timur memiliki kearifan lokal yang menjunjung tinggi keharmonisan antara manusia dan alam melalui ritual, pantangan, dan sistem nilai adat yang kuat. Tradisi Yadnya Kasada, di mana masyarakat melemparkan sesaji ke kawah Bromo sebagai bentuk syukur dan permohonan keselamatan, juga berfungsi sebagai mekanisme konservasi dengan membatasi erosi dan menjaga kelestarian ekosistem. Selain itu, terdapat pantangan menebang pohon sembarangan dan larangan merusak sumber air, memperlihatkan penghormatan mendalam terhadap lingkungan hidup. Bentuk kemitraan modern antara masyarakat Tengger, pemerintah, dan lembaga konservasi telah memperkuat upaya pelestarian Taman Nasional Bromo Tengger Semeru melalui strategi partisipatif dan pengelolaan berkelanjutan. Namun, tantangan pariwisata massal dan perubahan iklim mengharuskan inovasi terus-menerus untuk menjaga keseimbangan ekologi dan budaya Tengger.

Pendahuluan

Suku Tengger adalah kelompok etnis yang berpenduduk sekitar 500.000 jiwa di wilayah Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Mereka mengklaim keturunan langsung dari masa Majapahit dan mempertahankan sistem kepercayaan Hindu-Budha yang terintegrasi dengan tradisi lokal. Wilayah mereka berada di ketinggian 1.200–2.300 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi iklim dan tanah vulkanik yang memengaruhi cara hidup dan budaya agraris mereka. Keunikan Suku Tengger terletak pada keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan pelestarian lingkungan.

Bacaan Lainnya

Sejarah dan Budaya Suku Tengger

Menurut legenda, Suku Tengger berasal dari pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang mengembara setelah keruntuhan Majapahit, mendirikan komunitas di lereng Bromo sebagai bentuk penolakan migrasi jauh dari leluhur. Budaya Tengger dipenuhi dengan simbolisme alam, di mana Gunung Bromo dianggap sebagai poros dunia (axis mundi) dan tempat tinggal roh leluhur. Struktur sosial mereka berbasis patrilineal, tetapi keputusan penting sering dibahas bersama dalam forum adat yang melibatkan tokoh agama dan pemuka adat.

Hubungan Spiritual dengan Alam

Bagi masyarakat Tengger, alam adalah rumah bagi roh leluhur (Brahma, Wisnu, dan Shiwa) serta nenek moyang yang harus dihormati melalui sesaji dan doa. Kepercayaan karmaphala mendorong tanggung jawab moral atas perbuatan manusia, termasuk upaya menjaga keseimbangan ekologi. Ritual dan pantangan dianggap sarana untuk memelihara energi positif alam, misalnya larangan menebang pohon di zona suci dan memasang sesaji pada pohon besar untuk mencegah penebangan ilegal.

Tradisi Yadnya Kasada dan Peran dalam Kelestarian

Yadnya Kasada diadakan setiap tahun pada bulan Kasada (Agustus) di Pura Agung Luhur Poten, lereng Gunung Bromo. Masyarakat menyiapkan hasil bumi, ternak, dan bunga sebagai persembahan, kemudian melemparkannya ke kawah untuk diberikan kepada roh-roh penunggu gunung. Selain makna spiritual, tradisi ini membantu menjaga struktur tanah vulkanik di sekitar kawah, mengurangi resiko longsor dan erosi berlebih. Pemantauan oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memastikan bahwa jumlah dan jenis sesaji tidak membahayakan flora maupun fauna setempat.

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan

Masyarakat Tengger menerapkan pantangan “awan lingsir”—larangan berkegiatan di hutan pada waktu-waktu tertentu—untuk memberi kesempatan regenerasi hutan dan terjaganya habitat satwa. Mereka juga mengelola sumber air melalui sistem subak sederhana, memanfaatkan air hujan dan aliran pegunungan secara berkelanjutan. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (non-timber forest products) seperti rotan dan jamur dilakukan sesuai musim, sehingga stok alam tetap terjaga. Sosialisasi kearifan ini diwariskan secara lisan dalam upacara adat dan pendidikan informal di desa-desa Tengger.

Kemitraan Konservasi dan Inisiatif Modern

Bentuk kemitraan antara masyarakat Tengger, pemerintah daerah, dan organisasi non-pemerintah meliputi pelatihan ekowisata, patroli bersama, dan program restorasi habitat. Proyek “Green Tengger” memanfaatkan teknologi drone dan AI untuk memantau perubahan vegetasi dan populasi satwa, meningkatkan respons cepat terhadap ancaman kebakaran hutan dan perambahan . Selain itu, Lembaga Adat Tengger terlibat dalam perumusan kebijakan pariwisata berbasis komunitas, memastikan manfaat ekonomi sejalan dengan pelestarian budaya dan alam.

Tantangan dan Peluang

Pariwisata massal di kawasan Bromo yang memuncak saat musim kemarau membawa dampak negatif seperti sampah plastik, kerusakan jalur pendakian, dan polusi suara. Perubahan iklim juga berdampak pada pola hujan dan kesuburan tanah, menuntut inovasi dalam teknik pertanian adat. Di sisi lain, makin tingginya minat wisatawan global membuka peluang edukasi konservasi dan peningkatan taraf hidup masyarakat bila dikelola partisipatif.

Kesimpulan

Keistimewaan Suku Tengger terletak pada kearifan lokal yang memadukan spiritualitas dan praktik lingkungan, menciptakan model pelestarian alam yang terpadu. Ritual seperti Yadnya Kasada dan pantangan adat memperlihatkan bagaimana budaya dapat menjadi instrumen efektif konservasi. Dengan dukungan kemitraan modern dan pengelolaan pariwisata berkelanjutan, Suku Tengger berpotensi menjadi contoh global dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.

baca juga : manfaat senam aerobik untuk tubuh dan kesehatan mental

Pos terkait