disapedia.com Secara global, jumlah prosedur bedah kosmetik meningkat pesat—diperkirakan 18 juta orang menjalani tindakan bedah atau minimal invasif di AS saja pada 2018—didorong oleh dua motivasi utama: peningkatan harga diri dan kepuasan citra diri. Selain itu, faktor inferiority complex—rasa minder kronis terhadap penampilan—sering menjadi pemicu utama di balik keinginan “memperbaiki” diri melalui oplas. Lebih lanjut, tren gaya hidup digital dan hadirnya filter di media sosial menciptakan standar kecantikan tidak realistis, sehingga banyak orang berupaya meniru versi “sempurna” diri mereka yang telah terfilter. Oleh karena itu, artikel ini akan mengulas (1) statistik dan tren terkini, (2) faktor psikologis seperti inferiority complex, (3) pengaruh gaya dan media sosial, (4) motivasi sosial-budaya, (5) dampak psikologis jangka panjang, dan (6) strategi pencegahan serta solusi.
Statistik Global dan Tren Oplas
Pertumbuhan Jumlah Prosedur
Pertama-tama, tren global menunjukkan peningkatan permintaan bedah kosmetik dalam dua dekade terakhir. Sebagai ilustrasi, di AS saja sekitar 18 juta prosedur—baik bedah maupun minimal invasif—telah dijalani pada 2018, angka yang melonjak signifikan dibanding dekade sebelumnya. Bahkan, laporan American Society of Plastic Surgeons merekam pertumbuhan rata-rata tahunan lebih dari 5% pada sebagian besar jenis prosedur utama sejak 2010.
Demografi Pasien
Selanjutnya, data menunjukkan pasien bukan hanya wanita—pria berusia 30–50 tahun mulai ikut mendominasi tren oplas, khususnya untuk prosedur botox dan filler. Demikian pula, generasi milenial dan Gen Z semakin banyak mencari tindakan minimal invasif sebagai cara “self-care” modern, meski risikonya belum sepenuhnya dipahami .
Faktor Psikologis: Minder dan Inferiority Complex
Definisi Inferiority Complex
Menurut Alfred Adler, inferiority complex adalah rasa tidak pernah cukup baik, baik akibat perbandingan masa kecil atau keterbatasan fisik, yang membuat individu berusaha “menutupi” kekurangan tersebut melalui perilaku kompensasi. Oleh karena itu, inferiority complex kerap mendorong orang untuk mencari solusi instan—termasuk operasi plastik—demi memperbaiki citra diri.
Hubungan dengan Body Dysmorphic Disorder
Lebih jauh lagi, body dysmorphic disorder (BDD) yang kerap terkait dengan rasa minder ekstrem mendorong sejumlah orang hingga terus-menerus melakukan prosedur bedah untuk “mengobati” citra diri yang terdistorsi. Bahkan, studi menunjukkan bahwa pasien BDD sering kali tidak puas meski hasil teknis operasi sempurna, sehingga terjebak dalam siklus perbaikan tanpa henti.
Faktor Gaya dan Tren
Pengaruh Media Sosial dan Filter
Selain itu, fenomena “Snapchat Dysmorphia” menggambarkan bagaimana filter wajah di aplikasi seperti Instagram dan Snapchat menciptakan ekspektasi tidak realistis, mengakibatkan banyak orang menginginkan tampilan “filtered self” di dunia nyata. Akibatnya, meski efek filter terbilang “digital”, tuntutan untuk mendekati hasil tersebut mendorong seekor pasien datang ke klinik kosmetik dengan contoh selfie terfilter sebagai referensi operasi.
Identitas dan Keinginan Tampak Unik
Lebih lanjut, dorongan untuk tampil unik—namun tetap “sesuai tren”—menjadi alasan lain. Sering kali, pasien termotivasi oleh keinginan mengikuti gaya selebriti atau influencer, sehingga prosedur kosmetik dipandang sebagai “aksesori gaya” modern. Dengan demikian, oplas tak lagi sekadar medis, melainkan bagian dari self-branding di era digital.
Motivasi Sosial dan Budaya
Tekanan Sosial dan Norma Kecantikan
Selanjutnya, norma kecantikan yang dipropagandakan media massa dan media sosial menimbulkan standar tinggi dan sempit—misalnya wajah tirus, hidung mancung, bibir penuh—yang sulit dicapai secara alami. Maka dari itu, banyak yang merasa terpaksa menjalani oplas agar tidak “tertinggal” secara sosial.
Pengaruh Selebriti
Bahkan, selebriti sering kali menjadi benchmark kecantikan, sehingga upaya meniru ciri wajah atau tubuh artis favorit menjadi motivasi kuat melakukan prosedur bedah. Terlebih lagi, endorsement dan konten “before–after” yang viral semakin memperkuat persepsi bahwa oplas adalah jalan pintas menuju kesempurnaan.
Dampak Psikologis
Self-Esteem dan Kesehatan Mental
Meskipun bertujuan meningkatkan rasa percaya diri, penelitian mengindikasikan bahwa efek positif oplas terhadap self-esteem sering bersifat sementara. Bahkan, pasien dengan BDD atau narsistik cenderung menunjukkan peningkatan ketergantungan pada prosedur tambahan untuk mempertahankan kepuasan diri.
Risiko Kecanduan Oplas
Lebih jauh lagi, beberapa individu mengembangkan pola “oplasi addiction”, yakni terus-menerus mencari prosedur baru demi mengatasi rasa tidak puas yang muncul pasca-operasi sebelumnya. Dengan demikian, bukannya menyelesaikan masalah psikologis, oplas malah bisa memperparah kondisi mental jika tidak didampingi intervensi profesional.
Strategi Pencegahan dan Solusi
Konseling Psikologis Pra-Operasi
Oleh karena itu, semakin banyak klinik yang mulai menerapkan sesi konseling psikologis sebelum tindakan bedah, untuk memastikan motivasi pasien sehat dan realistis. Pendekatan ini membantu mengidentifikasi kasus BDD atau inferiority complex sehingga pasien memperoleh rujukan terapi yang tepat.
Edukasi dan Media Literacy
Selain itu, kampanye literasi media—mengajarkan masyarakat memahami bahwa banyak konten di media sosial telah diedit dan tidak mencerminkan kenyataan—dapat mengurangi tekanan untuk mengikuti standar tidak realistis. Dengan demikian, konsumen lebih sadar akan risiko dan dapat membuat keputusan lebih bijak.
Kesimpulan
Dengan demikian, fenomena oplas yang kian marak sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor psikologis (inferiority complex, BDD), tren gaya digital (filter media sosial), tekanan norma kecantikan, dan motif meniru selebriti. Kendati bertujuan meningkatkan rasa percaya diri, tanpa penanganan psikologis yang tepat, operasi plastik dapat memicu kecanduan dan gangguan mental lebih lanjut. Oleh karena itu, konseling pra-operasi dan edukasi media literacy adalah kunci untuk memastikan keputusan oplas dibuat secara sehat dan bertanggung jawab.
baca juga : kabar viral