disapedia.com Data terbaru mencerminkan realitas pahit: banyak keluarga di Indonesia kini hidup di atas garis kemiskinan rendah, bahkan bertahan dengan biaya hidup ekstrem—yakni hanya sebesar Rp 250.000 per bulan untuk kebutuhan pokok. Sementara secara resmi BPS mencatat garis kemiskinan per kapita sebesar Rp 609.160 per bulan, atau jika dihitung per rumah tangga rata-rata (4,7 orang), setara dengan sekitar Rp 2,87 juta per bulan.
Dengan fakta ini, jelas bahwa jutaan warga hidup jauh di bawah batas kelayakan—ini bukan hanya angka statistika, melainkan realitas sehari-hari yang mengancam martabat manusia. Artikel ini membahas penyebab situasi tersebut, potret angka yang mencemaskan, dan urgensi solusi yang lebih manusiawi.
1. Data Terbaru: Apa Kata BPS?
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025:
-
Garis kemiskinan nasional adalah sekitar Rp 609.160 per kapita per bulan.
-
Persentase penduduk miskin: 8,47 % atau sekitar 23,85 juta jiwa.
-
Angka kemiskinan ekstrem (yang paling parah) mencapai 0,85 %, atau sekitar 2,38 juta jiwa.
Angka-angka ini resmi dan menunjukkan tren penurunan. Namun, di sisi lain, banyak yang secara real hidup dengan pengeluaran jauh di bawah garis tersebut—bahkan hanya Rp 250 ribu. Ini adalah survival line, bukan indikator kemiskinan layak.
2. Realitas yang Menyakitkan: Rp 250 Ribu per Bulan
Meskipun tidak ada angka resmi yang menetapkan “Rp 250 ribu,” realitas ini menggambarkan:
-
Keluarga miskin harus membagi alokasi untuk makan, tempat tinggal, transportasi, listrik, hingga pendidikan dengan jumlah uang yang sangat minim.
-
Sebagian besar pengeluaran digunakan untuk kebutuhan primer seperti makanan atau tempat tinggal—apalagi jika rumah mesti di-kontrak.
-
Aktivitas seperti membeli beras, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya bisa menyedot dana di atas anggaran ideal, membuat angka Rp 250 ribu nyaris mustahil menanggung segala kebutuhan dasar.
Fenomena ini memperjelas bahwa garis kemiskinan yang dicatat secara resmi tidak mencerminkan kehidupan berlebih, melainkan sekadar bertahan hidup.
3. Mengapa Ganjil antara Data Resmi dan Realita?
Ada beberapa penyebab penting:
-
Perhitungan berdasarkan rata-rata kebutuhan dasar — data BPS menghitung kebutuhan makanan dan non-makanan minimal untuk tidak kelaparan, bukan hidup layak.
-
Ketimpangan wilayah — daerah tertinggal seperti Papua, Maluku, dan NTT memiliki kemiskinan yang jauh lebih tinggi, namun tidak tertangkap utuh dalam agregat nasional.
-
Rental dan biaya hidup perkotaan — di kota, biaya kontrakan saja bisa menghabiskan sebagian besar dari angka survival line.
-
Rentan miskin tidak tertangani — banyak orang berada di atas garis kemiskinan, namun masih sangat rentan terhadap guncangan ekonomi seperti PHK atau kenaikan harga bahan pokok.
Akibatnya, mereka yang hidup dengan Rp 250 ribu per bulan bukan hanya kehilangan kesejahteraan, tapi juga hak dasar terhadap kehidupan yang layak.
4. Dampak Sosial Ekonomi dari Angka yang Terlalu Rendah
Realitas kehidupan di bawah garis survival berdampak luas:
-
Stunting dan malnutrisi: karena asupan gizi anak tidak memenuhi standar.
-
Kemiskinan multidimensional: akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan menjadi sangat terbatas.
-
Ketimpangan yang membesar: data resmi menutupi fakta ketertinggalan di berbagai daerah.
-
Politik angka: kritik menyebut bahwa angka rendah membantu pemerintah “mengklaim” penurunan kemiskinan untuk citra pembangunan, tanpa memperbaiki fundamental struktur.
5. Solusi: Agenda Pengentasan yang Lebih Manusiawi
Diperlukan pendekatan multipihak dan adaptif:
-
Revisi garis kemiskinan: harus memuat standar yang mencerminkan kebutuhan kabupaten/kota, bukan rata-rata nasional.
-
Intervensi sosial yang tepat sasaran: fokus pada kelompok survival line dan yang “rentan miskin”, bukan hanya mereka yang sudah berada paling bawah.
-
Pemerataan ekonomi: perlu program pembangunan di wilayah tertinggal seperti Papua dan Maluku.
-
Penguatan jaring pengaman sosial: wajib memperluas akses bantuan pangan, pendidikan, dan kesehatan.
-
Penguatan literasi ekonomi publik: agar masyarakat memahami makna angka statistik dan tidak hanya menerima data tanpa konteks.
Hanya dengan pendekatan berkelanjutan dan berbasis kemanusiaan, target pengentasan kemiskinan ekstrem dapat diwujudkan dengan nyata — bukan hanya lewat angka rapor pembangunan, tetapi juga kualitas hidup sehari-hari yang makin baik.
Kesimpulan
Angka kemiskinan terendah dalam dua dekade (8,47 %) memang patut diapresiasi. Namun, kenyatannya, masih ada jutaan orang hidup di bawah biaya kelayakan : hanya Rp 250 ribu per bulan—sesuatu yang jauh dari kata manusiawi.
Data resmi menunjukkan tren positif, tapi belum cukup. Agar kemajuan ini nyata dirasakan, kita perlu:
-
Memperluas cakupan bantuan sosial,
-
Menyesuaikan standar kelayakan hidup menurut konteks lokal,
-
Memastikan tidak ada rakyat yang hanya sekadar bertahan hidup, tapi benar-benar mendapatkan kehidupan layak, bermartabat, dan sejahtera.
Semoga artikel ini bisa menjadi refleksi dan pemicu kebijakan yang lebih adil dan berkeadaban.
Baca Juga : Kabar Terkini











