disapedia.com Kota-kota besar selalu menjadi pusat mimpi, peluang, dan kemajuan. Namun, di tengah gemerlap gedung bertingkat dan pesatnya perkembangan teknologi, muncul kenyataan lain yang jauh lebih kompleks: kesenjangan sosial yang semakin melebar. Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara maju, tetapi juga tampak jelas di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana otomatisasi dan urbanisasi cepat berkontribusi pada ketimpangan tersebut, serta apa saja dampaknya bagi masyarakat urban.
1. Urbanisasi Cepat dan Ledakan Penduduk Kota
Untuk memahami kesenjangan sosial di perkotaan, kita perlu melihat bagaimana urbanisasi menjadi titik awal perubahan besar. Setiap tahun, jutaan orang pindah ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan lebih baik, akses pendidikan berkualitas, dan standar hidup lebih tinggi. Akan tetapi, arus urbanisasi yang tidak terkontrol menciptakan kesenjangan struktural.
Pertama, permintaan akan pekerjaan meningkat jauh lebih cepat dibanding ketersediaan kesempatan kerja formal. Kedua, harga tempat tinggal melonjak, yang pada akhirnya memaksa sebagian masyarakat berpenghasilan rendah untuk tinggal di permukiman padat dengan fasilitas minim. Selain itu, laju migrasi yang tinggi membuat kompetisi semakin ketat, sehingga kelompok ekonomi bawah semakin sulit naik kelas.
2. Otomatisasi Mengubah Pasar Kerja dengan Cepat
Sementara urbanisasi berlangsung, otomatisasi pun mengambil alih banyak sektor pekerjaan di kota. Mulai dari layanan perbankan yang beralih ke self-service, pabrik yang menggunakan robot industri, hingga perusahaan ritel yang mengganti kasir dengan sistem digital. Proses otomatisasi ini memang meningkatkan efisiensi, tetapi di sisi lain menciptakan tekanan besar bagi pekerja yang tidak memiliki keahlian teknologi.
Dengan kata lain, pekerja dengan keterampilan rendah adalah kelompok yang paling terdampak. Pekerjaan administratif sederhana, operator mesin, kasir, dan beberapa pekerjaan logistik kini terancam. Akibatnya, kelompok ini semakin tertinggal, sementara mereka yang memiliki keahlian digital justru menjadi lebih kompetitif. Oleh karena itu, otomatisasi secara tidak langsung memperlebar kesenjangan sosial di perkotaan.
3. Munculnya Kelas Baru: Mereka yang Adaptif vs Mereka yang Tertinggal
Selain memunculkan jurang ekonomi, otomatisasi juga menciptakan jurang digital. Di kota, kita bisa melihat dua kelompok berbeda yang hidup berdampingan tetapi terpisah secara sosial. Di satu sisi, ada mereka yang memiliki akses pendidikan teknologi, mampu bekerja di perusahaan global, dan hidup nyaman di perumahan modern. Di sisi lain, ada pekerja urban yang masih berkutat pada pekerjaan berupah rendah dan terancam tergeser.
Lebih jauh lagi, kelompok menengah kota yang tidak beradaptasi dengan perubahan teknologi pun dapat tergeser. Misalnya, staf administrasi yang tidak meningkatkan skill digitalnya akan kalah bersaing dengan pekerja muda yang lebih fasih teknologi. Dengan demikian, otomatisasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kecepatan adaptasi masyarakat kota.
4. Konsentrasi Kekayaan dan Akses Fasilitas Publik
Urbanisasi cepat turut memperburuk ketimpangan akses fasilitas publik. Misalnya:
-
Akses kesehatan yang lebih mudah dinikmati kelas menengah ke atas.
-
Pendidikan berkualitas lebih dominan di pusat kota dengan biaya tinggi.
-
Transportasi aman dan nyaman hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar lebih.
Sementara itu, masyarakat berpenghasilan rendah sering bergantung pada fasilitas minim atau tinggal jauh dari pusat ekonomi kota. Akibatnya, biaya hidup mereka justru lebih mahal, terutama dalam hal transportasi dan utilitas. Fenomena ini membuat kesenjangan sosial semakin terlihat secara geografis.
5. Studi Kasus: Transformasi Digital di Industri Transportasi
Salah satu contoh nyata dampak otomatisasi dan urbanisasi terlihat pada industri transportasi daring. Di satu sisi, masyarakat kota mendapatkan layanan cepat dan nyaman. Namun di sisi lain, otomatisasi sistem perjalanan, navigasi, dan pembayaran digital membuat sebagian pekerja transportasi konvensional kehilangan mata pencaharian.
Ojek pangkalan, sopir angkot, hingga pedagang kecil yang mengandalkan mobilitas manual kini harus bersaing dengan penyedia layanan digital. Memang, beberapa pekerja beradaptasi menjadi mitra aplikasi, tetapi banyak pula yang tidak mampu mengikuti perubahan karena kurangnya akses teknologi. Inilah gambaran jelas bagaimana otomatisasi dapat menciptakan peluang sekaligus merampas kesempatan bagi kelompok tertentu.
6. Tekanan Ekonomi terhadap Pekerja Informal
Di tengah cepatnya perkembangan kota, pekerja informal menjadi kelompok yang paling rentan. Mereka sering tidak memiliki perlindungan sosial, tidak terikat kontrak kerja jelas, dan upahnya bergantung pada permintaan harian. Urbanisasi membuat jumlah pekerja informal meningkat, namun tidak diimbangi dukungan kebijakan.
Sementara otomatisasi menekan peluang kerja, urbanisasi meningkatkan jumlah orang yang berebut pekerjaan yang sama. Dengan demikian, kombinasi keduanya membuat kelompok ini semakin terpinggirkan.
7. Dampak Sosial: Polarisasi, Stigma, dan Ketidaksetaraan
Dampak lain dari kesenjangan sosial adalah munculnya polarisasi sosial antara kelas ekonomi. Misalnya:
-
Stigma terhadap kelompok miskin kota sebagai “beban ekonomi”.
-
Ketidaksetaraan kesempatan pendidikan dan pekerjaan.
-
Sentimen sosial yang memicu konflik horizontal.
Selain itu, kesenjangan dapat menciptakan rasa frustasi kolektif yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Ketika kelompok bawah merasa tidak didengar, tidak jarang muncul protes, aksi demonstrasi, atau konflik ruang kota.
8. Solusi: Transformasi Inklusif untuk Masa Depan Kota
Meskipun tantangannya besar, kesenjangan sosial perkotaan tetap dapat dikurangi melalui berbagai strategi, misalnya:
1. Peningkatan Skill Digital
Pemerintah, perusahaan, dan komunitas perlu menciptakan program pelatihan yang terjangkau dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
2. Kebijakan Tata Ruang yang Lebih Merata
Pembangunan fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, dan transportasi harus lebih inklusif untuk wilayah pinggiran kota.
3. Sistem Jaminan Sosial untuk Pekerja Informal
Dengan perlindungan yang lebih kuat, mereka tidak akan terlalu rentan terhadap perubahan pasar kerja.
4. Kolaborasi Pemerintah – Industri – Komunitas
Kolaborasi dapat mengurangi kesenjangan akses teknologi sekaligus menciptakan peluang baru yang lebih adil.
5. Pembangunan Kota Berbasis Data
Kota yang memahami data warganya dapat merancang kebijakan lebih tepat sasaran.
Kesimpulan
Kesenjangan sosial di perkotaan bukanlah isu sederhana. Kombinasi otomatisasi dan urbanisasi cepat menciptakan tekanan ekonomi, kompetisi ketat, serta jurang sosial yang kian melebar. Namun, melalui kebijakan inklusif, pelatihan keterampilan digital, pemerataan fasilitas publik, dan partisipasi masyarakat, kota bisa berkembang secara adil dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, teknologi seharusnya mempermudah hidup banyak orang — bukan justru memperlebar kesenjangan. Dan untuk mencapainya, kita membutuhkan arah pembangunan kota yang berpihak pada semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Baca Juga : Kabar Terkini
