Abad ke-21 menjadi saksi dari rivalitas dua kekuatan raksasa dunia—Amerika Serikat dan Tiongkok—dalam berebut dominasi ekonomi global. Tidak lagi sebatas pertarungan militer atau ideologi, kontestasi antara keduanya kini berlangsung dalam ranah ekonomi, teknologi, dan diplomasi global.
Keduanya mengusung strategi berbeda namun sama ambisius, masing-masing berupaya memposisikan diri sebagai pusat gravitasi baru dunia.
Amerika Serikat: Mempertahankan Hegemoni
Amerika Serikat telah menjadi kekuatan ekonomi dominan sejak akhir Perang Dunia II. Dengan sistem kapitalisme liberal, AS mengandalkan kekuatan pasar bebas, inovasi teknologi, dan jaringan aliansi internasional seperti G7, NATO, serta peran besar dalam institusi global seperti IMF dan WTO.
Strategi ekonomi global AS di abad 21 fokus pada beberapa pilar:
1. Inovasi Teknologi dan Keunggulan Industri
AS menempatkan teknologi sebagai tulang punggung kekuatan ekonominya. Silicon Valley menjadi pusat inovasi dunia, dari AI hingga semikonduktor. Pemerintah AS juga memberikan insentif besar melalui kebijakan seperti CHIPS and Science Act guna meningkatkan produksi chip dalam negeri.
2. Aliansi Ekonomi dan Perdagangan
AS menggandeng negara-negara sekutu untuk membentuk blok ekonomi melawan pengaruh China, contohnya melalui Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Meski menarik diri dari TPP, AS tetap aktif menjalin perjanjian bilateral strategis.
3. Proteksionisme Cerdas
Meski dikenal pro-pasar bebas, AS mulai mengadopsi pendekatan protectionist-nationalist di bawah pemerintahan Trump dan berlanjut di era Biden, guna melindungi industri domestik dari ekspansi China.
China: Membangun Kekuatan Ekonomi Alternatif
China tumbuh dari ekonomi tertutup menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia dalam waktu kurang dari setengah abad. Di abad 21, strategi ekonomi Beijing mengalami transformasi dari “pabrik dunia” menjadi pusat inovasi dan pengaruh global.
1. Made in China 2025
Program ini bertujuan mengubah posisi China dari manufaktur murah menjadi pemimpin dalam teknologi tinggi seperti AI, kendaraan listrik, dan bioteknologi. China ingin mandiri secara teknologi dan tidak tergantung pada Barat.
2. Belt and Road Initiative (BRI)
Melalui proyek infrastruktur raksasa lintas negara ini, China membangun pengaruh ekonomi dan politik di Asia, Afrika, hingga Eropa. BRI adalah strategi jangka panjang untuk membentuk tatanan global baru.
3. Dual Circulation Strategy
Strategi ini menggabungkan pasar domestik kuat (internal circulation) dengan ekspansi global (external circulation). China ingin mengurangi ketergantungan terhadap ekspor dan investasi asing.
Pertarungan Teknologi: Siapa Terdepan?
Salah satu titik panas dalam persaingan ekonomi AS dan China adalah sektor teknologi. Kedua negara saling berlomba menguasai:
-
Kecerdasan Buatan (AI)
-
Semikonduktor
-
Teknologi 5G
-
Kendaraan listrik
-
Energi terbarukan
AS melarang perusahaan seperti Huawei dan TikTok karena alasan keamanan nasional. Sebaliknya, China mendorong perkembangan startup teknologi lokal dan memperketat regulasi terhadap perusahaan asing.
Perang teknologi ini bukan sekadar bisnis, tapi bagian dari persaingan ideologis dan pengaruh geopolitik.
Perdagangan dan Rantai Pasok: Keseimbangan Baru
Perang dagang antara AS dan China sejak 2018 memunculkan ketidakpastian global. Tarif impor, pembatasan ekspor, dan sanksi ekonomi menjadi senjata utama.
Namun efeknya tidak hanya dirasakan oleh kedua negara, tetapi juga negara-negara berkembang. Banyak perusahaan global kini menerapkan strategi China+1, yakni mencari lokasi produksi alternatif di Asia Tenggara seperti Vietnam, India, bahkan Indonesia.
Diplomasi Ekonomi: Soft Power dan Aliansi
Baik AS maupun China kini aktif menggunakan soft power ekonomi:
-
AS: Menawarkan bantuan pembangunan, proyek energi bersih, dan aliansi demokrasi ekonomi.
-
China: Menyediakan pinjaman infrastruktur murah dan investasi besar-besaran dalam proyek BRI.
Negara-negara berkembang menjadi medan pertempuran pengaruh. Misalnya, di Afrika dan Asia Tenggara, proyek BRI bersaing langsung dengan program bantuan dan kerja sama ekonomi dari AS dan sekutunya.
Tantangan Bersama: Perubahan Iklim dan Krisis Global
Ironisnya, meski bersaing ketat, AS dan China menghadapi tantangan ekonomi global yang sama, seperti:
-
Krisis energi
-
Perubahan iklim
-
Pandemi global
-
Inflasi dan resesi
Koordinasi antara dua kekuatan ini sebenarnya krusial dalam menangani isu-isu tersebut. Namun hingga kini, persaingan lebih mendominasi daripada kolaborasi.
Pengaruh terhadap Negara Lain
Negara-negara non-blok atau berkembang harus pandai bersikap. Tidak sedikit yang berupaya menjaga keseimbangan antara AS dan China untuk mendapatkan manfaat ekonomi tanpa terseret konflik.
Indonesia, misalnya, menjalin kerja sama dengan China dalam proyek infrastruktur (seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung), tapi juga memperkuat hubungan strategis dengan AS dalam bidang pertahanan dan digitalisasi.
Kesimpulan: Menuju Dunia Multi-Kutub
Rivalitas ekonomi AS-China di abad 21 menunjukkan bahwa dunia sedang menuju tatanan baru yang lebih multi-kutub. Hegemoni tunggal Amerika mulai ditantang oleh kekuatan ekonomi besar lainnya, terutama China.
Strategi masing-masing negara akan terus berevolusi, tetapi satu hal yang pasti: dunia kini menjadi medan strategis bagi pertarungan pengaruh, teknologi, dan kekuatan ekonomi yang tidak kalah penting dari peperangan militer.
Bagi negara-negara lain, memahami dinamika ini penting agar bisa beradaptasi, mengambil posisi strategis, dan memaksimalkan peluang di tengah ketegangan ekonomi global.