disapedia.com Demokrasi sering digambarkan sebagai sistem politik paling adil karena menjanjikan satu suara bagi setiap warga negara. Namun, semakin ke sini, muncul satu fenomena yang semakin nyata—kelelahan demokrasi. Publik, yang seharusnya menjadi jantung dari sistem ini, justru tampak semakin apatis, bahkan sinis terhadap proses politik yang berlangsung. Maka, pertanyaannya pun muncul: apakah demokrasi masih mewakili realita sosial, ataukah kini ia hanya menjadi simbol tanpa substansi?
Artikel ini akan menelusuri lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan demokrasi yang lelah, mengapa hal ini terjadi, serta bagaimana ketimpangan antara representasi politik dan realita sosial menimbulkan krisis kepercayaan dalam sistem demokrasi itu sendiri.
Dari Representasi ke Disorientasi
Secara ideal, demokrasi bertumpu pada prinsip representasi: para pemimpin dipilih untuk mewakili suara rakyat. Namun, dalam praktiknya, representasi ini semakin sering dipertanyakan. Banyak masyarakat merasa bahwa suara mereka “hilang” di tengah kompromi politik, elitisme kekuasaan, dan kepentingan ekonomi.
Tidak jarang, kebijakan yang diambil oleh para wakil rakyat justru bertentangan dengan kebutuhan konstituen mereka. Lebih jauh lagi, politisi kerap terlihat lebih fokus pada pencitraan dan elektabilitas, ketimbang memperjuangkan solusi nyata atas persoalan rakyat.
Dengan demikian, meskipun secara prosedural demokrasi tetap berlangsung—dengan pemilu, debat, dan parlemen—secara substansial, rakyat merasa tak benar-benar diwakili. Inilah awal dari kelelahan demokrasi.
Kelelahan Publik: Gejala dan Dampaknya
Lelahnya masyarakat terhadap sistem demokrasi bukan terjadi dalam semalam. Gejala ini berkembang secara perlahan, tetapi konsisten. Beberapa indikator dari kelelahan demokrasi ini meliputi:
-
Menurunnya partisipasi dalam pemilu, terutama di kalangan muda.
-
Skeptisisme terhadap institusi politik dan hukum.
-
Meningkatnya narasi “semua politisi sama saja”.
-
Migrasi ke ruang-ruang sosial non-politik sebagai pelarian.
Dampaknya jelas. Ketika kepercayaan publik terus menurun, maka ruang dialog demokratis pun semakin menyempit. Akibatnya, kebijakan publik kehilangan legitimasi sosial, dan masyarakat merasa terasing dari sistem yang seharusnya mereka miliki.
Realita Sosial yang Tak Tertampung
Lebih jauh lagi, kelelahan demokrasi juga mencerminkan ketidakmampuan sistem politik dalam membaca realita sosial yang semakin kompleks Ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, disrupsi teknologi, dan maraknya disinformasi menimbulkan lapisan-lapisan persoalan baru yang tidak cukup dijawab hanya dengan pemilu lima tahun sekali.
Ironisnya, kelompok yang paling terdampak oleh masalah-masalah ini justru adalah mereka yang paling jarang terdengar suaranya di ruang representasi formal: perempuan, pekerja informal, masyarakat adat, disabilitas, dan kaum miskin kota. Alhasil, demokrasi tampak tidak inklusif dan tidak solutif.
Media Sosial dan Ilusi Partisipasi
Sebagai respons terhadap stagnasi representasi politik, sebagian besar masyarakat beralih ke media sosial sebagai ruang ekspresi. Di satu sisi, ini menjadi peluang: publik bisa menyuarakan opini tanpa sensor. Namun di sisi lain, media sosial juga menciptakan ilusi partisipasi.
Hanya karena seseorang aktif di Twitter atau TikTok, tidak serta-merta berarti ia punya pengaruh nyata terhadap kebijakan. Bahkan, algoritma media sosial lebih mendorong keterlibatan emosional ketimbang deliberasi rasional. Konten yang viral belum tentu membawa solusi.
Lebih jauh lagi, ruang digital juga kerap disusupi oleh hoaks, polarisasi, dan buzzer politik. Maka, partisipasi yang diharapkan memperkuat demokrasi justru bisa menjadi bumerang yang memperkeruh ruang publik.
Mengapa Demokrasi Terlihat Melelahkan?
Ada beberapa alasan mengapa sistem demokrasi terasa melelahkan bagi banyak orang:
-
Janji yang tak terpenuhi: Ketika kampanye penuh harapan berubah menjadi realita yang stagnan, kekecewaan pun tak terhindarkan.
-
Biaya partisipasi yang tinggi: Tidak semua orang punya waktu, energi, atau sumber daya untuk terus terlibat secara aktif.
-
Dominasi elit politik: Kesenjangan antara pemilih dan yang dipilih semakin menganga.
-
Birokrasi yang lambat dan kompleks: Hal ini membuat perubahan terasa jauh dari harapan.
-
Minimnya pendidikan politik kritis: Publik lebih mudah lelah ketika tidak memiliki pemahaman mendalam akan sistemnya.
Menuju Demokrasi yang Lebih Sehat dan Responsif
Meski demokrasi terlihat lelah, bukan berarti ia tidak bisa disegarkan kembali. Ada beberapa langkah penting yang bisa ditempuh untuk menghidupkan kembali demokrasi secara substansial:
1. Revitalisasi Partisipasi Publik
Melibatkan publik bukan hanya saat pemilu, tetapi juga dalam penyusunan kebijakan, pengawasan anggaran, hingga perencanaan pembangunan daerah. Partisipasi ini harus difasilitasi dan dipermudah oleh pemerintah.
2. Pendidikan Politik yang Transformatif
Pendidikan politik tidak boleh sebatas teori, tetapi juga menanamkan nilai kritis dan keberanian untuk bertanya. Sekolah, kampus, hingga komunitas harus menjadi ruang pembelajaran demokrasi yang hidup.
3. Reformasi Representasi
Perlu sistem pemilu yang lebih inklusif dan transparan. Selain itu, representasi kelompok minoritas harus dijamin secara struktural.
4. Penguatan Media Independen
Media yang objektif dan berpihak pada kebenaran menjadi penting untuk membendung arus disinformasi sekaligus membangun kesadaran kolektif.
5. Desentralisasi Kekuatan
Distribusi kekuasaan ke daerah harus diiringi dengan mekanisme kontrol yang adil dan kolaboratif, bukan sekadar mengganti pusat otoritas.
Penutup: Demokrasi Perlu Diistirahatkan atau Disegarkan?
Demokrasi, seperti tubuh manusia, kadang perlu jeda. Tapi bukan untuk tidur panjang atau pensiun, melainkan untuk disegarkan kembali. Kelelahan publik terhadap demokrasi seharusnya menjadi alarm, bukan akhir. Kita tidak bisa terus-menerus menuntut dari sistem tanpa memperbaiki cara kita berinteraksi dengannya.
Oleh karena itu, demokrasi yang lelah bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk membangun kembali jembatan antara representasi politik dan realita sosial. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan milik elite, bukan milik algoritma, melainkan milik kita semua.
baca juga : kabar terbaru