Inflasi Terkendali, Pertumbuhan Terjaga? Evaluasi Kebijakan Moneter Global 2025
disapedia.com Setelah melewati gelombang ekonomi pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik yang belum sepenuhnya mereda, tahun 2025 menjadi momen krusial bagi dunia untuk menjawab satu pertanyaan besar: apakah inflasi bisa dikendalikan tanpa mengorbankan pertumbuhan?
Dalam berbagai forum ekonomi dunia, dari World Economic Forum hingga laporan IMF terbaru, isu mengenai efektivitas kebijakan moneter menjadi sorotan utama. Meskipun banyak negara mengklaim telah berhasil menurunkan inflasi ke level yang “lebih sehat”, masih ada kekhawatiran bahwa langkah-langkah tersebut bisa mengerem roda pertumbuhan terlalu keras. Maka dari itu, mari kita bahas lebih dalam.
1. Kilas Balik: Apa yang Terjadi Sebelum 2025?
Untuk memahami kebijakan moneter tahun ini, tentu penting untuk menengok kembali ke belakang. Sejak pandemi COVID-19 melanda dunia, berbagai bank sentral menerapkan kebijakan ultra-longgar, dengan suku bunga rendah mendekati nol bahkan negatif di beberapa negara.
Namun, kenaikan harga energi, rantai pasok yang terganggu, dan lonjakan permintaan pasca-pembukaan ekonomi memicu inflasi tinggi pada 2022–2023. Merespons ini, bank-bank sentral seperti Federal Reserve, ECB, hingga Bank Indonesia mulai mengetatkan kebijakan secara agresif pada 2024.
Hasilnya? Memasuki 2025, inflasi memang melambat, tetapi pertumbuhan ekonomi global juga cenderung moderat—bahkan melemah di beberapa negara berkembang.
2. Suku Bunga: Antara Rem dan Gas
Suku bunga tetap menjadi alat utama bank sentral untuk mengontrol inflasi. Tahun 2025 ditandai dengan pendekatan yang lebih hati-hati. Misalnya, The Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,75–5,00%, setelah sebelumnya menaikkan secara agresif dalam dua tahun terakhir.
Bank Sentral Eropa (ECB) pun mulai menahan laju kenaikan suku bunga, meskipun tekanan harga jasa dan upah masih cukup kuat. Di Asia, Bank Indonesia memilih sikap yang adaptif, menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan dorongan terhadap konsumsi dalam negeri.
Transisi dari kebijakan ketat menuju stabilitas ini mencerminkan upaya menjaga agar inflasi tetap terkendali tanpa mematikan pertumbuhan. Namun, apakah itu berhasil?
3. Evaluasi Efektivitas Kebijakan: Apa yang Bisa Kita Simpulkan?
Pertama-tama, target inflasi di banyak negara sudah mulai tercapai, setidaknya menuju ke arah 2–3%—angka yang dianggap sehat secara ekonomi. Akan tetapi, pertanyaannya berubah: apakah biaya ekonomi dari pencapaian itu terlalu tinggi?
Beberapa indikator penting menunjukkan bahwa:
-
Pertumbuhan ekonomi global melambat ke kisaran 2,5% di 2025 (IMF).
-
Investasi sektor swasta menurun, terutama di sektor manufaktur dan teknologi.
-
Ketenagakerjaan tetap positif, tetapi pertumbuhan upah riil stagnan.
Dengan kata lain, meskipun inflasi berhasil diredam, efek lanjutan berupa penurunan daya beli dan konsumsi menjadi tantangan tersendiri. Ini membuat banyak negara mulai mengevaluasi apakah kombinasi kebijakan fiskal dan moneter saat ini masih relevan atau perlu penyesuaian.
4. Pendekatan Baru: Data-Driven dan Fleksibel
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kebijakan moneter 2025 lebih bersifat “data dependent”. Artinya, penentuan arah suku bunga kini lebih responsif terhadap data terkini, seperti inflasi inti, pertumbuhan upah, dan ekspektasi pasar.
Beberapa inovasi dan pendekatan baru yang diadopsi antara lain:
-
Forward guidance yang lebih fleksibel, tidak lagi memberikan prediksi suku bunga jangka panjang secara kaku.
-
Kebijakan kuantitatif yang lebih terukur, misalnya dengan hanya membeli surat berharga saat pasar benar-benar butuh stabilisasi.
-
Pendekatan terkoordinasi antara bank sentral dan kementerian keuangan, terutama dalam mengatur stimulus fiskal.
Langkah ini dinilai sebagai cara untuk menghindari over-tightening yang bisa membuat ekonomi terkontraksi tanpa perlu.
5. Tantangan yang Masih Membayangi
Namun, tidak semua tantangan bisa diselesaikan hanya lewat suku bunga dan operasi pasar terbuka. Tantangan struktural masih membayangi kebijakan moneter, antara lain:
-
Krisis iklim dan transisi energi yang memicu biaya produksi tinggi dan fluktuasi harga pangan.
-
Ketegangan geopolitik seperti perang dagang, embargo teknologi, hingga konflik regional yang mempengaruhi kepercayaan pasar.
-
Digitalisasi sistem keuangan, dengan munculnya CBDC dan kripto yang menantang sistem moneter tradisional.
Oleh karena itu, ke depan, bank sentral tak bisa hanya bergantung pada pendekatan konvensional. Mereka perlu memahami konteks makro dan mikro dengan lebih mendalam, serta berinovasi dalam cara berkomunikasi dengan pasar dan publik.
6. Bagaimana Dampaknya ke Negara Berkembang?
Negara berkembang menghadapi dilema tersendiri. Di satu sisi, mereka harus menaikkan suku bunga untuk menjaga nilai tukar dan menekan inflasi impor. Di sisi lain, biaya pinjaman yang tinggi menekan investasi produktif dan konsumsi masyarakat.
Namun, beberapa negara seperti Indonesia dan Vietnam berhasil mengelola tekanan tersebut dengan:
Dalam konteks ini, desentralisasi kebijakan dan ketahanan fiskal menjadi kunci. Negara berkembang yang bisa menjaga kepercayaan investor tanpa mengorbankan pembangunan justru bisa lebih tangguh menghadapi volatilitas global.
7. Apa Pelajaran untuk ke Depan?
Jika ada satu pelajaran yang bisa dipetik dari kebijakan moneter global 2025, itu adalah pentingnya keseimbangan. Menekan inflasi memang krusial, tetapi mempertahankan pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat sama pentingnya.
Bank sentral tidak bisa bekerja sendiri. Sinergi antara kebijakan fiskal, struktural, dan inovasi sektor riil sangat diperlukan. Lebih dari itu, komunikasi yang transparan, kepercayaan publik, dan ketangguhan institusi menjadi pondasi dalam menavigasi ekonomi modern yang kompleks.
Kesimpulan
Tahun 2025 menjadi laboratorium besar bagi ekonomi dunia. Dengan inflasi mulai terkendali, kini tantangannya bergeser: bagaimana menjaga momentum pertumbuhan tanpa kembali ke jebakan inflasi atau stagnasi?
Kebijakan moneter saat ini tidak lagi sekadar soal menaikkan atau menurunkan suku bunga. Lebih dari itu, ia menjadi seni mengatur tempo ekonomi di tengah berbagai tekanan, dari perubahan iklim hingga revolusi digital.
Ke depannya, mereka yang mampu bersikap luwes, adaptif, dan terukur dalam menghadapi gejolak ekonomi global akan lebih siap menavigasi masa depan.
baca juga : berita terkini