Kelas Sosial Tak Lagi Kasat Mata: Ketimpangan Gaya Hidup di Era Serba Estetik

ketimpangan gaya hidup estetik
ketimpangan gaya hidup estetik
banner 468x60

disapedia.com Di masa lalu, perbedaan kelas sosial sangat terlihat—dari jenis kendaraan, tempat tinggal, hingga pakaian sehari-hari. Namun kini, di era yang didominasi oleh estetika dan citra digital, kelas sosial justru makin sulit dikenali secara kasat mata. Meskipun demikian, bukan berarti ketimpangan itu menghilang. Sebaliknya, ia hadir dalam bentuk baru: melalui visualisasi gaya hidup, kurasi media sosial, dan standar estetika yang makin tinggi. Maka dari itu, marilah kita telaah lebih dalam bagaimana ketimpangan sosial mewujud dalam dunia yang tampaknya semakin “setara”.

Dari Barang Nyata ke Estetika Virtual

Sebelum era digital, simbol kekayaan cenderung materialistik—rumah besar, perhiasan mahal, mobil mewah. Kini, banyak simbol itu telah bermigrasi ke ranah virtual. Misalnya, estetika Instagram atau video lifestyle di TikTok tidak lagi hanya menampilkan barang mahal, tetapi juga “kesan hidup sempurna”: kopi dengan latte art, meja kerja minimalis, atau rutinitas pagi yang tampak produktif.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Namun, transisi ini tidak menghapus ketimpangan, justru memperhalusnya. Estetika kini menjadi alat baru untuk menandai kelas sosial. Orang yang mampu membeli waktu untuk merancang tampilan hidupnya—baik lewat desain interior, pilihan fashion, maupun aktivitas yang terlihat ‘bernilai’—memiliki keunggulan naratif di dunia digital.

Estetika sebagai Kapital Sosial Baru

Beranjak dari konsep klasik Pierre Bourdieu tentang cultural capital, estetika kini bisa dianggap sebagai bentuk baru dari kapital sosial. Seseorang yang tahu bagaimana membingkai kehidupannya agar tampak menarik di media sosial, bisa mendapat pengakuan sosial—meskipun tanpa memiliki kekayaan dalam bentuk konvensional. Tapi tentu saja, kemampuan ini tidak datang begitu saja.

Sebagai contoh, memiliki rumah estetik yang instagramable bukan hanya soal keterampilan mendekorasi, melainkan juga soal dana, waktu luang, dan pengetahuan gaya. Dengan demikian, ketimpangan baru ini tidak terlihat dalam angka gaji atau aset fisik, melainkan dalam akses terhadap estetika yang bisa ditampilkan ke publik.

Gaya Hidup Kurasi: Kebutuhan atau Tekanan?

Transisi lain yang signifikan adalah tekanan untuk mengkurasi kehidupan. Banyak orang merasa terdorong untuk tampil ‘layak posting’ setiap saat, yang kemudian memunculkan stres dan krisis identitas. Ini terutama dialami oleh generasi muda yang sangat terhubung dengan dunia digital.

Ironisnya, mereka yang tidak mampu mengikuti estetika populer sering merasa terpinggirkan. Hal ini menciptakan bentuk baru dari ketimpangan psikologis—merasa kurang, merasa gagal, meski sebenarnya hidup mereka mungkin baik-baik saja. Dengan kata lain, ketimpangan sosial tidak lagi hanya bersifat ekonomi, tetapi juga emosional.

Platform Digital: Katalis atau Cermin?

Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube turut mempercepat pembentukan standar estetika ini. Di satu sisi, platform ini memberi ruang untuk siapa saja berkarya dan dikenal. Namun di sisi lain, algoritma sering kali memihak pada visual yang ‘sempurna’, estetika yang sudah disepakati, dan gaya hidup tertentu. Hal ini menyebabkan semakin dominannya satu bentuk representasi kelas, yakni kelas estetik yang cenderung elit.

Lebih jauh lagi, platform digital juga mengaburkan batas antara realitas dan kurasi. Banyak pengguna yang mengira kehidupan orang lain benar-benar seperti yang tampak di layar. Padahal, semuanya bisa dimanipulasi—dari pencahayaan, sudut kamera, hingga narasi caption.

Mengapa Ini Perlu Diwaspadai?

Pertama, karena ketimpangan ini bersifat subtil dan kerap luput dari kesadaran, banyak orang tidak menyadari dampaknya terhadap kesejahteraan mental mereka. Kedua, hal ini bisa memperkuat sistem sosial yang eksklusif, di mana hanya mereka yang punya “kapasitas estetika” yang bisa bersuara, dikenal, dan dianggap relevan.

Lebih jauh lagi, normalisasi estetika sebagai standar hidup juga mengganggu konsep keaslian. Misalnya, banyak komunitas lokal atau pekerja informal yang sebenarnya memiliki kontribusi besar pada masyarakat, tapi tak memiliki daya tarik visual di platform digital. Akibatnya, suara mereka nyaris tidak terdengar.

Menuju Gaya Hidup Lebih Inklusif

Untuk mengatasi tantangan ini, kita perlu mendorong pendekatan yang lebih inklusif terhadap estetika dan representasi sosial. Berikut beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan:

  1. Menghargai Keaslian di Atas Estetika: Apresiasi konten yang jujur dan otentik, meskipun tampilannya tidak sempurna.

  2. Edukasi Digital Sejak Dini: Mengajarkan generasi muda tentang perbedaan antara dunia digital dan realita.

  3. Promosi Ragam Estetika Lokal: Memberi ruang bagi representasi budaya yang berbeda dari standar estetika arus utama.

  4. Transparansi Narasi: Kreator konten bisa lebih terbuka tentang proses di balik layar, termasuk kesulitan dan ketidaksempurnaan.

Penutup: Kelas Sosial di Era Visual

Kita sedang hidup dalam zaman yang disebut banyak pakar sebagai visual-first society, di mana persepsi lebih penting dari kenyataan. Oleh karena itu, ketimpangan gaya hidup di era estetika ini perlu dipahami secara kritis. Bukan untuk menolak keindahan, tetapi agar kita tidak terjebak dalam standar palsu yang justru memperkuat eksklusivitas dan mengaburkan realitas sosial.

Pada akhirnya, keberagaman ekspresi, baik dari segi gaya, latar belakang, hingga narasi kehidupan, harus dipelihara. Hanya dengan cara inilah kita bisa membangun masyarakat digital yang lebih adil—baik secara visual maupun substansi.

baca juga : kabar sore

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *