Banyak artis terjun ke dunia politik sebagai anggota dewan karena popularitas mereka mampu mendongkrak elektabilitas partai. Fenomena “politainment” ini memunculkan pro dan kontra terkait kapabilitas legislatif, dengan kritik bahwa modal bintang panggung tak selalu berbanding lurus dengan keterampilan penyusunan kebijakan. Sementara itu, partai politik terus merekrut artis sebagai strategi suara praktis, meski menimbulkan kekhawatiran akan kualitas perwakilan rakyat. Berbagai kalangan menuntut regulasi lebih ketat dan program kaderisasi guna menjamin kompetensi legislatif, bukan sekadar sensasi publik.
Fenomena Artis di Parlemen
Lonjakan Artis Nyaleg
Dalam Pemilu 2024, tercatat 78 selebriti mendaftar sebagai calon legislatif, menandai tren masuknya figur publik ke ranah politik. Rekrutmen artis ini dipandang sebagai cara cepat meraih simpati pemilih melalui wajah-wajah familiar di media.
Pro dan Kontra
Pro: Pendukung melihat artis mampu memperkuat citra partai dan menjembatani komunikasi dengan masyarakat muda. Kontra: Kritikus menilai banyak artis belum dibekali kapabilitas politik dan pemahaman kebijakan publik yang memadai.
Faktor Pendorong Rekrutmen Artis
Popularitas dan Elektabilitas
Popularitas artis secara langsung meningkatkan suara partai di daerah pemilihan, terutama lewat media sosial dan penggemar fanatik. Mudahnya kampanye digital membuat nama besar artis menjadi aset pemilu.
Strategi Partai Politik
Partai berinvestasi pada “wajah selebritas” untuk menarik perhatian publik dan media, menutupi kelemahan organisasi partai di akar rumput. Ujang Komarudin menyoroti bahwa partai cenderung mengutamakan popularitas ketimbang rekam jejak kepemimpinan.
Modal Sosial dan Jaringan
Artis sudah memiliki jaringan luas, mulai dari penggemar hingga media, sehingga lebih mudah menggalang dukungan saat kampanye.
Tantangan Kompetensi dan Kinerja
Kapabilitas Politik yang Terbatas
Studi Kompas menunjukkan bahwa popularitas artis belum dibarengi oleh kapabilitas politik sebagai legislator, seperti pemahaman undang‑undang dan prosedur parlemen. Ketiadaan pengalaman birokrasi atau organisasi publik membuat proses belajar menjadi panjang .
Kualitas Debat dan Legislasi
Jika terlalu banyak merekrut artis tanpa latar belakang politik, kualitas debat politik di gedung DPR berpotensi menurun karena kurangnya pemahaman materi. Banyak peserta rapat komisi yang masih bergantung pada staf ahli dalam merumuskan kebijakan .
Kasus Kritik Publik
Musisi Ahmad Dhani pernah menuai kritik atas pernyataan diskriminatif di DPR, yang menimbulkan pertanyaan soal kecakapan dan etika wakil rakyat dari kalangan selebritas.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Survei Metro TV mencatat bahwa pemilih skeptis terhadap calon legislatif artis, dengan mayoritas merasa bahwa mereka “hanya modal nama” dan enggan memilih kembali jika kinerja buruk. Rasa tidak puas ini bisa memicu apatisme politik di kalangan generasi muda.
Upaya Peningkatan Kompetensi
Pendidikan Politik dan Kaderisasi
Para pengamat menyarankan program pelatihan intensif bagi artis-caleg, mencakup legislasi, etika politik, dan manajemen publik. Partai juga diminta menerapkan syarat minimal pengalaman organisasi.
Regulasi Pengetatan Syarat
Wacana memperketat syarat pendaftaran caleg – misalnya minimal pengalaman organisasi atau latar belakang pendidikan politik – muncul untuk menyeimbangkan elektabilitas dan kompetensi.
Kesimpulan
Fenomena artis menjadi anggota dewan dipicu oleh popularitas dan strategi partai untuk meraih suara, namun sering kali mengorbankan standar kompetensi legislatif. Untuk menjaga kualitas perwakilan rakyat, diperlukan regulasi pengetatan syarat, pendidikan politik berkelanjutan, dan kaderisasi yang memadai. Dengan demikian, wakil rakyat tak hanya dikenal, tetapi juga benar‑benar mampu merumuskan dan mengawasi kebijakan publik secara profesional.
baca juga : toyota di indonesia evolusi strategi suksesnya