Indonesia Mengizinkan Peran Militer yang Lebih Besar dalam Pemerintahan
disapedia.com Pada awal tahun 2025, pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan undang-undang baru yang memungkinkan personel militer aktif untuk menduduki lebih banyak posisi di pemerintahan sipil. Langkah ini memicu perdebatan nasional mengenai batasan antara militer dan sipil dalam sistem demokrasi Indonesia, yang sejak reformasi 1998 telah berupaya memisahkan keduanya secara tegas.
Latar Belakang Kebijakan
Kebijakan ini berakar dari rancangan undang-undang yang diusulkan Kementerian Pertahanan sejak pertengahan 2024. Pemerintah menyatakan bahwa peningkatan peran militer diperlukan untuk memperkuat stabilitas nasional, respons terhadap ancaman hibrida (cyber, disinformasi, dan konflik non-konvensional), serta efisiensi dalam penanganan krisis seperti bencana alam dan pandemi.
Menteri Pertahanan menyatakan bahwa “konteks global telah berubah dan Indonesia membutuhkan struktur pemerintahan yang adaptif dan responsif.” Namun, pihak oposisi dan banyak kelompok masyarakat sipil menilai bahwa alasan tersebut belum cukup kuat untuk menghapus prinsip dasar supremasi sipil dalam negara demokratis.
Isi Undang-Undang Baru
Undang-undang ini mengatur bahwa:
-
Perwira aktif TNI dapat ditugaskan dalam kementerian atau lembaga sipil tanpa harus pensiun dini.
-
Penugasan harus mendapatkan persetujuan langsung dari Presiden.
-
Penempatan dibatasi pada posisi yang berkaitan dengan pertahanan, keamanan, dan penanggulangan bencana.
Meski demikian, banyak pihak khawatir bahwa interpretasi “kaitan dengan pertahanan” bisa meluas dan membuka celah bagi perluasan peran militer dalam ranah yang selama ini eksklusif sipil, seperti pendidikan, kesehatan, hingga pengawasan ekonomi.
Dampak Terhadap Demokrasi
Kebijakan ini menuai kecaman dari sejumlah LSM dan akademisi. Mereka melihat kebijakan ini sebagai bentuk kemunduran dari prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan pasca reformasi. Pada masa Orde Baru, militer memiliki peran besar dalam pemerintahan melalui konsep “Dwi Fungsi ABRI”, yang memberi ruang kepada TNI untuk terlibat aktif dalam politik dan birokrasi sipil.
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah melakukan banyak reformasi institusional untuk mengakhiri pengaruh militer dalam politik sipil. Pengesahan undang-undang ini dianggap sebagai langkah mundur dari semangat reformasi tersebut.
Direktur Eksekutif Imparsial, sebuah lembaga pengawas militer, menyatakan bahwa “penguatan militer dalam jabatan sipil berisiko mencederai profesionalisme TNI serta memperlemah akuntabilitas publik dalam pengambilan keputusan strategis negara.”
Dukungan dari Pemerintah dan Kalangan Militer
Sebaliknya, sejumlah kalangan militer dan pendukung pemerintah menyambut baik kebijakan ini. Mereka menilai bahwa tantangan zaman mengharuskan sinergi lebih kuat antara militer dan sipil, terutama dalam konteks keamanan siber, intelijen strategis, dan penanganan ancaman non-tradisional.
Beberapa jenderal purnawirawan bahkan menyatakan bahwa “kembali ke praktik penugasan militer di sektor sipil tidak selalu berarti anti-demokrasi, asalkan dilakukan dalam kerangka hukum dan pengawasan yang ketat.”
Presiden juga menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bentuk efisiensi dan respons terhadap kondisi geopolitik global, dan bukan kembalinya militerisme.
Reaksi Internasional
Reaksi dari komunitas internasional, terutama negara-negara sahabat dan lembaga HAM internasional, cukup beragam. Beberapa menyuarakan keprihatinan atas kemungkinan berkurangnya ruang sipil dalam pemerintahan. Human Rights Watch dan Amnesty International mengeluarkan pernyataan resmi yang meminta Indonesia menjaga prinsip demokrasi dan menghindari militerisasi kebijakan publik.
Sementara itu, beberapa negara di Asia Tenggara menilai kebijakan ini sebagai langkah realistis, mengingat ancaman regional seperti konflik Laut Cina Selatan, ketegangan di Papua, dan isu terorisme transnasional.
Potensi Risiko & Mitigasi
Beberapa risiko yang diidentifikasi oleh pengamat:
-
Politik Militerisasi – Dikhawatirkan kebijakan ini membuka jalan bagi militer untuk kembali memiliki peran dominan dalam keputusan politik dan anggaran.
-
Penyalahgunaan Wewenang – Tidak adanya pengawasan yang kuat dapat menyebabkan penyimpangan kekuasaan oleh pejabat militer yang menjabat posisi sipil.
-
Konflik Kepentingan – Militer yang berada dalam posisi sipil dapat memengaruhi netralitas dalam pengambilan keputusan publik.
Sebagai upaya mitigasi, beberapa usulan disampaikan:
-
Pembentukan badan pengawas independen untuk menilai penempatan militer dalam jabatan sipil.
-
Pembatasan masa tugas dan kewenangan jabatan sipil yang diisi oleh militer aktif.
-
Pelibatan masyarakat sipil dan akademisi dalam pengawasan kebijakan ini.
Kesimpulan
Pemberian peran lebih besar kepada militer dalam pemerintahan Indonesia merupakan langkah strategis yang kontroversial. Di satu sisi, ia mencerminkan respons negara terhadap kompleksitas ancaman zaman modern. Di sisi lain, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran serius mengenai arah demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Untuk itu, perlu mekanisme pengawasan yang kuat, transparansi penempatan, serta komitmen pemerintah dalam menjaga profesionalisme militer dan integritas institusi sipil.
Kebijakan ini akan menjadi penentu penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia di era pasca-reformasi. Masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawas dituntut untuk terus aktif menjaga prinsip dasar negara demokrasi: kekuasaan militer harus tetap tunduk pada otoritas sipil.
baca juga : berita kabar viral