Ringkasan
disapedia.com Artikel ini membahas perjalanan panjang arus politik Nusantara—mulai dari masa kerajaan klasik, pengaruh Islam, periode kolonial, kebangkitan nasional, hingga era modern digital. Setiap fase dianalisis dalam konteks kekuasaan, struktur kelembagaan, dan nilai-nilai sosial yang mendasari perubahan politik. Pemaparan diakhiri dengan refleksi atas tantangan dan peluang demokrasi Indonesia di era globalisasi.
1. Masa Kerajaan Klasik dan Dinamika Kekuasaan
1.1 Pusat-pusat Kerajaan Awal
Pada abad ke-7 hingga ke-14, Nusantara dihuni oleh kerajaan-kerajaan kuat seperti Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa. Sriwijaya memonopoli jalur perdagangan maritim Asia Tenggara, membangun diplomasi dengan Tiongkok dan India. Sementara itu, Majapahit mengembangkan sistem administrasi terpusat, mengenalkan dewa-dewa lokal ke dalam legitimasi politik raja.
1.2 Strata Sosial dan Politik
Struktur politik kerajaan klasik bersifat feodal: raja sebagai pusat, dibantu oleh pejabat kerajaan dan bangsawan. Rakyat jelata—petani, nelayan, pedagang—berkontribusi lewat pajak dan upeti. Nilai gotong royong dan kekerabatan menjadi fondasi stabilitas sosial, sekaligus alat kontrol politik raja atas daerah taklukan.
2. Pengaruh Islam dan Munculnya Kesultanan
2.1 Proses Islamisasi
Mulai abad ke-13, pedagang Gujarat dan Arab membawa Islam ke pantai utara Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Islamisasi tidak hanya soal agama, tetapi juga mempengaruhi hukum (syariah), pendidikan pesantren, dan tatanan politik kesultanan.
2.2 Kesultanan Aceh dan Demak
Kesultanan Demak (abad ke-15) menjadi pelopor kekuasaan Islam di Jawa, menjalin aliansi dengan Walisongo. Sementara Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16) mengukuhkan kekuatan maritim dan menentang Portugis di Malaka. Keduanya menunjukkan bagaimana agama membentuk legalitas dan legitimasi politik di Nusantara.
3. Era Penjajahan: Fragmentasi dan Perlawanan
3.1 Kolonial Portugis, Belanda, dan Inggris
Kedatangan Portugis (1511) memicu dominasi Eropa di Selat Malaka. Belanda kemudian mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1602, mengambil alih monopoli rempah. Inggris sempat singgah (1811–1816) sebelum kembali diserahkan ke Belanda lewat Kongres Wina.
3.2 Politik Etis dan Kebijakan Divisif
Pada awal abad ke-20, politik etis Belanda—ironi kemajuan pendidikan dan infrastruktur—juga memupuk kesadaran nasional. Namun di sisi lain, sentralisasi dan praktik ‘pecah belah’ melemahkan struktur lokal, memicu perlawanan sporadis seperti Perang Aceh dan Perang Lombok.
4. Kebangkitan Nasional dan Proklamasi Kemerdekaan
4.1 Pergerakan Organisasi
Organisasi politik semenjak Budi Utomo (1908), Indische Partij (1912), hingga Sarekat Islam (1911) menanam benih nasionalisme. Mereka memperjuangkan hak politik, kebebasan pers, serta pendidikan bahasa Indonesia.
4.2 Proklamasi 1945
Setelah pendudukan Jepang (1942–1945) mempercepat pergeseran kekuasaan lokal, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun Konferensi Meja Bundar (1949) baru mengakhiri kedaulatan RIS, menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1950.
5. Politik Orde Lama dan Orde Baru
5.1 Demokrasi Parlementer dan Terpimpin
Periode awal merdeka (1950–1957) menggunakan sistem parlementer, diwarnai volatilitas kabinet. Soekarno kemudian menerapkan Demokrasi Terpimpin (1959–1966), menegaskan Gerakan Non-Blok dan nasakom (nasionalisme, agama, komunisme).
5.2 Orde Baru Stabilitas dan Otokrasi
Sejak 1966, Orde Baru di bawah Soeharto menekankan pertumbuhan ekonomi stabil, pembangunan infrastruktur, dan sentralisasi politik. Namun praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menimbulkan ketimpangan sosial, memicu krisis moneter 1997.
6. Era Reformasi dan Desentralisasi
6.1 Reformasi 1998
Kerusuhan 1998 menumbangkan Soeharto, membuka jalan kebebasan pers, pemilu multipartai, dan supremasi hukum. Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tonggak penting pemberantasan korupsi.
6.2 Desentralisasi dan Otonomi Daerah
UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 mendelegasikan kewenangan ke provinsi/kabupaten. Hak politik lokal menguat: gubernur, bupati, wali kota dipilih langsung. Namun dinamika politik daerah kerap diwarnai transaksional politik dan klienelisme.
7. Demokrasi Digital dan Tantangan Masa Kini
7.1 Media Sosial dan Polarisasi
Platform digital (Facebook, Twitter, Instagram) memudahkan kampanye politik, sekaligus menyuburkan hoaks dan ‘echo chamber’. Pilkada dan pemilu legislatif menunjukkan polarisasi identitas, terkadang memecah solidaritas nasional.
7.2 Respons Kebijakan dan Regulasi
Pemerintah merespons dengan UU ITE dan RUU Perlindungan Data Pribadi, berupaya menyeimbangkan kebebasan berpendapat dan keamanan informasi. Munculnya gerakan citizen journalism menunjukkan potensi partisipasi warga di ranah digital.
8. Refleksi dan Prospek Ke Depan
Perjalanan politik Nusantara memperlihatkan siklus terpusat–desentralisasi, otoritarian–demokrasi, tradisional–digital. Ke depan, tantangan utama adalah memperkuat institusi, menjaga pluralisme, dan membangun pemilu yang adil di era disruptive technology. Dengan memadukan kearifan lokal dan inovasi global, Indonesia berpeluang menjadi model demokrasi inklusif di Asia Tenggara.
9. Studi Kasus Pemilu Terbaru
9.1 Pemilihan Presiden 2019
Pemilu 2019 memperlihatkan polarisasi tajam antara pasangan Jokowi–Ma’ruf Amin dan Prabowo–Sandiaga, didorong oleh isu identitas dan ekonomi. Tingkat partisipasi mencapai 81,9 %, mencerminkan antusiasme pemilih meski disertai gelombang hoaks dan “political hate speech” di media sosial.
9.2 Pemilihan Presiden 2024
Pada Oktober 2024, Prabowo Subianto terpilih sebagai presiden, menggantikan Joko Widodo setelah dua periode menjabat. Kemenangan ini menandai konsolidasi koalisi besar dan melanjutkan tren “cartel party” dalam sistem multi-partai Indonesia.
10. Inovasi Digital dan E-Voting
Kementerian Dalam Negeri kini mengkaji implementasi e-voting berdasarkan keberhasilan pada 1.910 pilkades sejak 2013–2023, sebagai upaya mempercepat proses dan mengurangi potensi kecurangan. Namun, regulasi UU ITE (No. 11/2008) masih sering dipakai untuk menjerat ujaran kritis, sehingga perlu penyempurnaan agar ruang digital politik makin terbuka dan aman bagi publik.
11. Politik Dinasti dan Tantangannya
Dominasi keluarga dalam kontestasi politik meningkat, terlihat dengan wacana pencalonan Gibran Rakabuming Raka (putra Jokowi) sebagai calon wakil presiden pada 2024, yang memicu kritik “politik dinasti”. Praktik ini diperparah oleh tingginya biaya kampanye dan lemahnya ideologi partai, sehingga menghambat regenerasi kepemimpinan yang inklusif.
12. Peran Generasi Muda dan Gerakan Sipil
Generasi milenial dan Z memanfaatkan media sosial untuk kampanye kesadaran politik, gerakan anti-korupsi, dan citizen journalism. Misalnya, Lapor! dan KawalPemilu.org memberi akses real-time data penghitungan suara, menumbuhkan partisipasi dan akuntabilitas publik. Selain itu, kepedulian terhadap isu lingkungan dan HAM semakin meluas di kalangan aktivis muda, mendorong dialog lintas sektoral.
Kesimpulan Lanjutan
Arus politik Nusantara terus bertransformasi: dari polarisasi pemilu terkini, adopsi teknologi pemungutan suara, tantangan politik dinasti, hingga kebangkitan masyarakat sipil digital. Ke depan, kunci konsolidasi demokrasi ada pada keseimbangan inovasi regulasi, transparansi lembaga, dan partisipasi inklusif—dengan generasi muda sebagai pilar perubahan.
baca juga : wisata bahari