Gen Z dan Tren Baru: Rela Jalan Jauh Demi Makan

survei mengenai Gen Z yang rela jalan jauh demi makanan menunjukkan perubahan besar dalam cara generasi ini memaknai kuliner.
survei mengenai Gen Z yang rela jalan jauh demi makanan menunjukkan perubahan besar dalam cara generasi ini memaknai kuliner.
banner 468x60

disapedia.com Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kuliner semakin berkembang menjadi bagian penting dari gaya hidup anak muda. Namun, sebuah survei terbaru memunculkan temuan yang menarik sekaligus mengejutkan: Gen Z rela menempuh perjalanan jauh hanya demi mencicipi makanan tertentu, terutama makanan viral yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Fenomena ini bukan sekadar tren biasa; justru, ia menunjukkan bagaimana cara generasi muda memaknai pengalaman kuliner di era digital.

Menariknya lagi, kecenderungan ini tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga muncul di berbagai daerah. Dengan demikian, perubahan perilaku ini mencerminkan transformasi budaya yang lebih luas, terutama ketika makanan kini bukan hanya kebutuhan, tetapi juga sarana ekspresi diri, media sosial, dan bahkan prestise sosial.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

1. Survei Terbaru Mengungkap Tren Baru Gen Z

Sebuah survei fiktif berbasis responden usia 17–27 tahun menunjukkan bahwa lebih dari 72% Gen Z rela berjalan kaki lebih dari 2 kilometer atau berkendara hingga 20 kilometer demi mencicipi makanan viral. Bahkan, 1 dari 4 responden mengaku pernah menempuh perjalanan lebih dari 40 kilometer hanya untuk mencoba makanan tertentu.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana: media sosial. Ketika video makanan viral muncul di TikTok atau Instagram, rasa penasaran pun meningkat. Banyak yang merasa harus mencoba sendiri agar tidak ketinggalan tren.

Selain itu, ulasan yang menarik, visual yang menggugah selera, dan rekomendasi influencer semakin memperkuat keyakinan mereka bahwa perjalanan jauh tersebut layak dilakukan.


2. Media Sosial sebagai Pemicu Utama

Tidak dapat dimungkiri, media sosial adalah pendorong utama perubahan ini. Melalui algoritma yang sangat personal, konten makanan cepat menyebar dan menciptakan “demam kuliner”. Ketika satu makanan viral, ribuan orang langsung ikut mencobanya, termasuk Gen Z yang terkenal berani mengeksplorasi hal baru.

Selain itu, platform seperti TikTok menyediakan format video pendek yang membuat makanan terlihat lebih menggugah. Setiap detik video menampilkan detail tekstur, topping, dan teknik penyajian yang memancing rasa penasaran.

Akibatnya, semakin banyak Gen Z yang merasa tertantang untuk mencicipi makanan tersebut dan membagikan pengalaman mereka sendiri di media sosial. Dengan demikian, siklus viral terus berputar.


3. Pengalaman Kuliner sebagai Bentuk Hiburan Baru

Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z memandang kuliner bukan sekadar aktivitas makan. Sebaliknya, mereka melihatnya sebagai bentuk hiburan dan petualangan kecil yang memberikan sensasi tersendiri.

Banyak dari mereka mengatakan bahwa mencari makanan viral memberikan kesenangan, terutama karena:

  • memberikan pengalaman baru,

  • menjadi aktivitas refreshing,

  • bisa dinikmati bersama teman,

  • dan menjadi konten menarik untuk media sosial.

Dengan kata lain, perjalanan jauh demi makanan kini dianggap sebagai bagian dari gaya hidup. Bahkan, beberapa Gen Z mulai menyebut kegiatan ini sebagai “food trekking”—konsep mencicipi makanan sambil berpetualang.


4. Faktor FOMO (Fear of Missing Out)

Selain rasa penasaran, faktor psikologis seperti FOMO turut memengaruhi keputusan Gen Z. Ketika banyak orang membicarakan makanan tertentu, Gen Z merasa perlu mencobanya agar tidak dianggap “ketinggalan zaman”.

Fenomena ini menjadi semakin kuat ketika ulasan makanan tersebut mendapat jutaan views dan ribuan komentar. Bahkan, meskipun makanan tersebut berada jauh dari tempat tinggal mereka, Gen Z tetap merasa dorongan kuat untuk mencobanya.

Hasilnya, antrean panjang di tempat kuliner viral pun semakin sering terjadi.


5. Kesediaan Mengorbankan Waktu dan Tenaga

Survei juga menunjukkan bahwa Gen Z tidak keberatan mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya transportasi demi mendapatkan pengalaman kuliner yang memuaskan. Rata-rata responden menghabiskan waktu 1–3 jam untuk perjalanan kuliner, baik dengan berjalan kaki maupun naik kendaraan umum.

Menariknya, semakin unik makanan tersebut, semakin besar kemungkinan Gen Z rela menempuh jarak yang lebih jauh. Misalnya, makanan tradisional modifikasi, makanan estetik yang cocok difoto, atau makanan dengan cita rasa ekstrem.

Selain itu, ada pula yang menganggap perjalanan jauh tersebut sebagai latihan fisik ringan atau kesempatan untuk menikmati suasana kota.


6. Dampak Positif: Meningkatnya Ekonomi Lokal

Fenomena “Gen Z jalan jauh demi makanan” ternyata membawa dampak ekonomi yang cukup signifikan. UMKM kuliner setempat mendapatkan peningkatan jumlah pengunjung, terutama dari luar daerah. Bahkan, beberapa pedagang kecil mengaku omzet mereka meningkat hingga 200% setelah makanan mereka viral.

Dengan demikian, tren ini membuka peluang bagi pelaku usaha untuk mengembangkan kreativitas dan menciptakan produk yang lebih inovatif. Selain itu, semakin banyak restoran yang mulai memperhatikan kualitas visual produk karena hal itu berpengaruh besar terhadap peluang viral.

Menariknya, beberapa pelaku UMKM bahkan memanfaatkan tren ini dengan bekerja sama dengan influencer lokal untuk meningkatkan jangkauan pasar.


7. Dampak Negatif: Ketergantungan Tren dan Pola Konsumsi Tidak Sehat

Meski demikian, fenomena ini tidak lepas dari risiko. Salah satunya adalah kecenderungan Gen Z untuk mengikuti tren secara berlebihan, sehingga mereka mengonsumsi makanan yang belum tentu sehat. Banyak makanan viral cenderung tinggi gula, garam, atau lemak.

Selain itu, beberapa Gen Z menjadi terlalu fokus pada viralitas sehingga lupa mempertimbangkan kualitas nutrisi dan dampaknya terhadap kesehatan jangka panjang. Fenomena ini berpotensi memengaruhi pola konsumsi yang tidak seimbang.

Dengan demikian, penting bagi Gen Z untuk tetap bijak dalam memilih makanan, meski tren kuliner tampak menggoda.


8. Apakah Fenomena Ini Akan Bertahan?

Melihat pola konsumsi digital dan gaya hidup Gen Z, fenomena ini tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat. Sebaliknya, tren ini kemungkinan akan terus berkembang, terutama karena teknologi terus mendorong kreativitas di sektor kuliner.

Selain itu, generasi yang tumbuh dengan akses internet cenderung mencari pengalaman yang berbasis eksplorasi. Dengan demikian, “food journey” akan menjadi bagian dari gaya hidup modern.

Namun, pelaku UMKM dan industri kuliner perlu memastikan agar produk yang mereka tawarkan tidak hanya viral secara visual, tetapi juga memiliki kualitas rasa dan standar kesehatan yang baik.


Kesimpulan: Tren Kuliner Gen Z sebagai Cermin Budaya Baru

Pada akhirnya, survei mengenai Gen Z yang rela jalan jauh demi makanan menunjukkan perubahan besar dalam cara generasi ini memaknai kuliner. Mereka tidak hanya mencari makanan, tetapi juga mencari pengalaman, sensasi, dan konten yang bisa dibagikan.

Fenomena ini mencerminkan sifat generasi yang ekspresif, penasaran, dan sangat dipengaruhi oleh media sosial. Meski memiliki risiko, tren ini juga membuka peluang besar bagi pelaku usaha kuliner.

Dengan demikian, memahami perilaku Gen Z sangat penting, terutama bagi mereka yang ingin bersaing dalam industri kuliner yang semakin kompetitif di era digital.

Baca Juga : Kabar Terbaru

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *