disapedia.com Fenomena ekspansi menengah kini menjadi salah satu pergeseran demografis paling signifikan dalam peta ekonomi dunia. Pertama-tama, peningkatan pendapatan di banyak negara berkembang mendorong lahirnya konsumen baru dengan pola belanja lebih variatif. Selain itu, digitalisasi turut mempercepat perubahan preferensi, yang kemudian menggeser perilaku konsumsi dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar menjadi pemenuhan gaya hidup. Oleh karena itu, momen ini tidak hanya menghadirkan peluang, melainkan juga kompetisi baru bagi perusahaan untuk beradaptasi secara cepat dan cerdas.
Selanjutnya, Bank Dunia dan berbagai proyeksi ekonomi memperkirakan bahwa pada dekade ini, lebih dari 60% populasi kelas menengah global akan berasal dari Asia, disusul Afrika, dan sebagian kawasan Amerika Latin. Maka dari itu, perusahaan yang ingin tumbuh berkelanjutan harus memastikan strategi yang digunakan tidak hanya global, tetapi juga relevan secara lokal. Dengan kata lain, pendekatan generik tidak lagi cukup.
Namun demikian, yang menjadi persoalan bukan sekadar besarnya pasar, tetapi bagaimana memahami manusia di dalamnya. Sebab konsumen kelas menengah modern memiliki karakteristik baru: teredukasi, informatip, digital savvy, dan jauh lebih selektif dalam mengambil keputusan pembelian. Alhasil, strategi bisnis yang berhasil hari ini adalah strategi yang berbasis empati, data, dan kecepatan adaptasi.
Memahami Profil Konsumen Kelas Menengah Baru
Pertama, mereka memiliki daya beli yang meningkat secara bertahap, meskipun tetap sensitif terhadap harga di kategori tertentu. Kedua, mereka tidak hanya mengejar produk, tetapi juga pengalaman, status sosial, dan nilai personal. Selain itu, mereka lebih cenderung meneliti sebelum membeli, baik melalui ulasan, media sosial, maupun rekomendasi komunitas. Oleh sebab itu, pendekatan pemasaran harus menampilkan bukti sosial (social proof), testimoni, dan transparansi merek.
Lebih lanjut, pola konsumsi mereka pun makin terdorong oleh faktor kenyamanan. Sebagai contoh, mereka cenderung memilih layanan yang cepat, efisien, dan bisa diakses lewat gawai. Maka dari itu, bisnis yang tidak memprioritaskan omnichannel atau integrasi online–offline berisiko kehilangan momentum.
Di sisi lain, segmen ini juga menunjukkan tren “value-driven consumption” — artinya, mereka menyukai brand yang memiliki nilai sosial, berkelanjutan, dan memberi dampak positif. Dengan demikian, strategi keberlanjutan (ESG), meskipun dulunya bersifat opsional, kini mulai menjadi faktor pembeda yang kompetitif.
Strategi Kunci Memanfaatkan Ekspansi Kelas Menengah Global
1. Segmentasi Mikro, Bukan Massal
Sebelumnya, perusahaan menarget pasar secara luas, namun sekarang segmentasi harus lebih presisi. Dengan bantuan data analytics dan AI, perusahaan bisa memetakan konsumen berdasarkan kebiasaan digital, psikografis, tingkat aspirasi, dan pola konsumsi. Dengan begitu, pesan pemasaran menjadi lebih relevan, sehingga conversion rate pun meningkat.
Bahkan, daripada menjual ke “semua orang”, strategi yang lebih efektif adalah berbicara langsung ke “sekelompok orang yang sangat spesifik, dengan kebutuhan yang sangat jelas.”
2. Personalisasi Produk dan Layanan
Kemudian, personalisasi bukan lagi nilai tambah, melainkan ekspektasi. Terlebih, banyak brand raksasa sekarang menggunakan model kustomisasi produk, membership premium, hingga rekomendasi berbasis AI. Sebagai hasilnya, konsumen merasa diperhatikan secara personal, sehingga brand loyalty lebih mudah terbentuk.
3. Local First, Global Mindset
Walaupun target pasarnya global, cara pendekatannya harus tetap lokal. Sebab preferensi di Indonesia jelas berbeda dengan India, Brasil, atau Afrika Selatan. Oleh karena itu, strategi localization mencakup:
-
Pengemasan bahasa lokal
-
Penyesuaian harga dan daya beli
-
Kolaborasi dengan figur/komunitas setempat
-
Adaptasi budaya dalam pesan pemasaran
Hal ini penting karena pada dasarnya konsumen ingin merasa “dilihat” menurut konteks sosial dan kulturnya.
4. Membangun Ekosistem, bukan Sekadar Produk
Selain menjual produk, perusahaan perlu menciptakan lingkungan (ecosystem) yang membuat konsumen betah. Misalnya:
-
Komunitas pengguna
-
Membership loyalty
-
Gamifikasi reward
-
Edukasi konsumen
Semakin banyak brand hadir dalam keseharian konsumen, semakin kuat retensi yang tercipta.
5. Mengadopsi Commerce Tanpa Batas (Borderless Commerce)
Lalu, hambatan geografis kini makin tipis. E-commerce global, cross-border payment, dan logistik digital memungkinkan UMKM sekalipun menjual ke mancanegara. Maka, strategi ekspor digital melalui marketplace global, dropshipping internasional, dan kolaborasi influencer lintas negara kini menjadi peluang baru yang sangat skalabel.
Peran Teknologi dalam Mengakselerasi Peluang
Tanpa disadari, teknologi menjadi motor penggerak utama dalam era ini. Pertama, Artificial Intelligence membantu perusahaan memprediksi tren, mengelola rantai pasok, dan meningkatkan relevansi iklan. Kedua, machine learning memberi kemampuan bagi sistem untuk merekomendasikan produk tanpa menunggu permintaan konsumen.
Lebih jauh lagi, keberadaan dompet digital, paylater, dan embedded finance juga memperluas akses pembelian, khususnya bagi segmen middle-income yang ingin kemudahan transaksi. Dengan demikian, teknologi bukan hanya alat, melainkan juga enabler utama pertumbuhan.
Tantangan yang Tidak Bisa Diabaikan
Namun demikian, peluang besar selalu berdampingan dengan tantangan. Pertama, daya beli kelas menengah bersifat fluktuatif ketika terjadi inflasi atau resesi. Kedua, loyalitas mereka cenderung rendah jika brand tidak stabil dalam kualitas. Selain itu, kompetisi semakin intens karena pelaku baru terus bermunculan di pasar digital.
Oleh karena itu, strategi yang hanya fokus pada akuisisi tidak cukup. Sebaliknya, bisnis juga harus fokus pada retensi, diferensiasi, dan inovasi berkelanjutan.
Masa Depan Bisnis Bertumpu pada Adaptasi dan Relevansi
Pada akhirnya, memanfaatkan ekspansi kelas menengah global bukan sekadar soal memperbesar pasar, tetapi memperdalam relevansi. Karena itu, perusahaan yang menang bukan hanya yang terbesar modalnya, melainkan yang tercepat beradaptasi, paling dekat dengan konsumennya, dan paling konsisten memberi nilai.
Dengan demikian, strategi bisnis masa depan bukan lagi product-driven, melainkan people-driven.
Sumber (Terpisah)
Analisis disusun berdasarkan pemetaan tren konsumen global, proyeksi demografi ekonomi berkembang, dan pola transformasi digital dalam perilaku pembelian kelas menengah di berbagai kawasan emerging market.
Baca Juga : Kabar Terbaru











